Memupuk masalah menuai konflik
Hidup berumahtangga tanpa konflik ibarat masakan tanpa garam, kata sebagian orang. Konflik adalah bumbu kehidupan, kata sebagian yang lain. Masakan tanpa garam, apalagi tanpa bumbu tentu hanya menyajikan citarasa hambar yang tidak menarik.
Namun, mengapa konflik sering merusak hubungan sesama manusia?
Apakah ini berarti sebagai koki kehidupan pelaku konflik tak pandai meracik bumbu?
Rasa kesal, kecewa, tak suka, tak setuju, pun tak sependapat bukan hal aneh dalam hidup berumah tangga. Mengingat pernikahan adalah bersatunya dua kepribadian unik yang dibesarkan secara berbeda pula, mencari suami atau isteri yang seia-sekata, satu selera, gaya dan perilaku mustahil pula untuk dilakukan.
Berkenaan dengan itu, Yati Utoyo Lubis, MA, psikolog klinis dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa sebuah rumahtangga memang memiliki potensi besar menjadi lahan subur konflik. Betapa tidak, dua kepribadian yang berbeda hidup berdampingan bertahun-tahun dalam satu atap, tak jarang hingga akhir hayat.
Namun, punya potensi konflik tak lantas berarti harus berkonflik, karena manakala ditata dengan baik, masalah dalam rumahtangga justru bisa berakhir dengan indah tanpa harus timbul konflik.
Karena itu, kapan suatu masalah dapat muncul menjadi konflik?
Bila sudah muncul dua niat, dua tujuan atau dua harapan yang berbeda, yang sudah bertentangan diantara masing masing kepentingan, yang tidak terpecahkan ? ujar Yati.
Sementara, konflik sendiri diartikan sebagai level lanjutan sebuah problem rumah tangga. Bila sekedar merasa ada perbedaan, kesenjangan, maupun perasaan-perasaan tidak nyaman, sesungguhya hal itu baru merupakan sebuah problem pribadi, namun bila problem yang dirasakan ini tak segera ditangani, ia akan berubah menjadi konflik.?
Satu indikasi yang mudah untuk menunjukkan adanya konflik dalam rumah tangga adalah, manakala komunikasi diantara suami isteri tidak berjalan, dan pola ineteraksi yang terbangun diantara keduanya memiliki kondisi yang menegangkan. Ketika salah satu dari pasangan mencoba bicara namun berakhir pada pertengkaran atau tanggapan-tanggapan yang pedas, sinis atau sarkastik, itu juga menunjukkan bahwa mereka tengah membutuhkan emergency exit yang amat segera.
Sebab mendasar dan sebab lanjutan
Banyak sebab terjadinya konflik suami isteri, Yati Utoyo Lubis merincinya menjadi konflik dengan alasan ekonomi, keluarga besar, orang ketiga, anak hingga perbedaan-perbedaan kecil yang biasa terdapat pada diri kedua belah pasangan. Namun, meski mengakui adanya sebab-sebab dengan alasan tersebut. Ada akar permasalahan yang lebih mendasar dari munculnya konflik suami isteri yaitu soal niat, tujuan dan orientasi pernikahan yang belum beres.
ketentraman rumah tangga sudah menjadi satu paket dengan keberlangsungan pernikahan sejauh pernikahan itu dijalani atas dasar niat, tujuan dan orientasi pernikahan yang benar. Sehingga, manakala ketentraman hilang dari dalam rumah tangga kita, terlebih dahulu periksalah hal-hal yang menyangkut soal niat, tujuan dan orientasi pernikahan. Masihkah berada pada rel kebenaran?
Setelah sebab mendasar ini, penyebab utama konflik yang nampak paling dominan, adalah soal komunikasi. Baik yang tersumbat dalam melakukan komunikasi, tidak berani melakukan komunikasi maupun yang melakukan komunikasi tetapi merasa terpaksa. Sering terjadi, pasangan suami isteri tidak mampu mengungkapkan rasa tidak suka, cemburu, tidak setuju dan sejenisnya dengan cara yang tepat. Padahal, kita harus memiliki satu prinsip berkomunikasi yang meletakkan penghormatan, perhatian, respon dan kemesraan dalam hal mengungkap pesan atau sebaliknya menangkap pesan. Sederhananya ia berkata, Bila penghormatan dan perhatian hilang, bersiaplah menyambut hari-hari panjang penuh konflik dan penderitaan.
Terakhir, konflik juga bisa timbul karena adanya pola interaksi yang tidak baik, berati kita telah kehilangan satu pola komunikasi yang baik. Bila kualitas komunikasi dan pola interaksi suami isteri baik, maka masalah yang timbul dapat segera diatasi sehingga tidak menjadi konflik. Itu hanya menjadi suatu problem saja.
Perlu kemauan tinggi
Meski tidak dianjurkan memelihara konflik, pasangan suami isteri tak perlu takut terlibat konflik. Yang penting mereka siap mengatur konflik agar bisa teratasi dengan baik.
Konflik justru bisa bermakna positif dalam hidup seseorang, yaitu jika ia mampu meningkatkan kematangan hubungan suami isteri. Namun konflik bermakna positip ini adalah konflik yang kemunculannya adalah untuk dihadapi, diatur secara santun, dan bukannya dihindari atau malah diumbar dalam bentuk konflik terbuka.
Mengingat faktor utama yang mendorong timbulnya konflik adalah soal kegagalan berkomunikasi, maka berkomunikasi atau memperbaiki komunikasi juga menjadi solusi utama. Sayangnya beberapa orang mengaku tidak mampu lagi berkomunikasi dengan pasangannya. Dan ini adalah satu hal yang ditentang oleh psikolog Yati Utoyo Lubis.
Setiap orang pasti bisa berkomunikasi, tegas Yati. Memang ada orang yang belum apa-apa sudah bilang tidak bisa berkomunikasi, padahal menurut saya itu nonsens. Kenapa? “Karena komunikasi itu sesungguhnya bukan soal tidak bisa tetapi tidak mau” tambahnya.
Bisa juga terjadi, problem yang ada dipendam dan ditumpuk atau kemarahan dibiarkan berlarut-larut tanpa dikomunikasikan sehingga munculah ketakutan yang semakin besar untuk mengungkapkannya. Ketakutan ini lantas saja dianggap sebagai ketidakmampuan.
Mengatasi soal hambatan berkomunikasi ini, bagi pihak yang merasakan ada masalah untuk segera membuka diri tanpa menunggu pihak lain menjadi peka atau berharap pasangan sudah paham dengan sendirinya.
Anak-anak paling menderita
Bagi pasangan yang tidak berani menghadapi konflik, ingatlah bahwa dampak adanya konflik sangat luas dan menyakitkan, baik bagi kedua pasangan, keluarga besar dan terutama bagi anak-anak. Jadi suami, isteri dan anak-anak adalah pihak yang dirugikan dalam hal konflik yang tidak segera diatasi.
Suami atau isteri bisa merasa skeptis dan apatis terhadap tindakan, pemikiran ataupun perasaan pasangannya. Belum lagi jika selama ini yang muncul dalam komunikasi suami isteri adalah gaya menekan atau meremehkan, maka yang mungkin terjadi adalah munculnya rasa minder, inferior serta tidak percaya diri pada diri pasangan yang kerap diremehkan.
Bagi pasangan yang kerap diabaikan, dibentak atau mendapat tekanan dalam berkomunikasi, sangat mungkin muncul depresi yang sangat mempengaruhi kondisi kesehatan mentalnya. Bila pasangan sudah merasa tidak bahagia, dia dapat bersikap masa bodo, tak lagi berkeinginan memperbaiki hubungan atau bahkan, merasa putus asa.
Begitupun sebagai manusia dewasa, pasangan suami isteri masih punya kesempatan memilih sikap atau mengambil jalan keluar. Entah dengan mencari solusi, memohon bantuan, tidak ambil peduli atau bercerai. Sementara bagi anak-anak, konflik orangtua yang tidak terselesaikan hanya berujung pada satu kata “menderita“.
Bagi anak-anak ada tigal hal yang mungkin terjadi seiring berlarutnya konflik orangtua.
Pertama, minimal mereka kehilangan kesempatan bermain dengan orangtuanya yang tengah berkonflik.
Selanjutnya mereka akan mendapati kurangnya perhatian orangtua pada mereka karena disibukkan dengan konflik dan,
tingkat lanjutannya adalah manakala anak sampai mengalami child abuse (penyiksaan) baik yang berkonotasi fisik, sebagai pelampiasan kemarahan orangtua, atau penyiksaan psikis dan verbal.
Karena itu, sebelum konflik suami isteri memakan korban, segeralah mengambil tindakan. Kelola masalah dan atasi konflik dengan cepat dan tepat.
Diambil dari : tentang-pernikahan.com
Hidup berumahtangga tanpa konflik ibarat masakan tanpa garam, kata sebagian orang. Konflik adalah bumbu kehidupan, kata sebagian yang lain. Masakan tanpa garam, apalagi tanpa bumbu tentu hanya menyajikan citarasa hambar yang tidak menarik.
Namun, mengapa konflik sering merusak hubungan sesama manusia?
Apakah ini berarti sebagai koki kehidupan pelaku konflik tak pandai meracik bumbu?
Rasa kesal, kecewa, tak suka, tak setuju, pun tak sependapat bukan hal aneh dalam hidup berumah tangga. Mengingat pernikahan adalah bersatunya dua kepribadian unik yang dibesarkan secara berbeda pula, mencari suami atau isteri yang seia-sekata, satu selera, gaya dan perilaku mustahil pula untuk dilakukan.
Berkenaan dengan itu, Yati Utoyo Lubis, MA, psikolog klinis dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa sebuah rumahtangga memang memiliki potensi besar menjadi lahan subur konflik. Betapa tidak, dua kepribadian yang berbeda hidup berdampingan bertahun-tahun dalam satu atap, tak jarang hingga akhir hayat.
Namun, punya potensi konflik tak lantas berarti harus berkonflik, karena manakala ditata dengan baik, masalah dalam rumahtangga justru bisa berakhir dengan indah tanpa harus timbul konflik.
Karena itu, kapan suatu masalah dapat muncul menjadi konflik?
Bila sudah muncul dua niat, dua tujuan atau dua harapan yang berbeda, yang sudah bertentangan diantara masing masing kepentingan, yang tidak terpecahkan ? ujar Yati.
Sementara, konflik sendiri diartikan sebagai level lanjutan sebuah problem rumah tangga. Bila sekedar merasa ada perbedaan, kesenjangan, maupun perasaan-perasaan tidak nyaman, sesungguhya hal itu baru merupakan sebuah problem pribadi, namun bila problem yang dirasakan ini tak segera ditangani, ia akan berubah menjadi konflik.?
Satu indikasi yang mudah untuk menunjukkan adanya konflik dalam rumah tangga adalah, manakala komunikasi diantara suami isteri tidak berjalan, dan pola ineteraksi yang terbangun diantara keduanya memiliki kondisi yang menegangkan. Ketika salah satu dari pasangan mencoba bicara namun berakhir pada pertengkaran atau tanggapan-tanggapan yang pedas, sinis atau sarkastik, itu juga menunjukkan bahwa mereka tengah membutuhkan emergency exit yang amat segera.
Sebab mendasar dan sebab lanjutan
Banyak sebab terjadinya konflik suami isteri, Yati Utoyo Lubis merincinya menjadi konflik dengan alasan ekonomi, keluarga besar, orang ketiga, anak hingga perbedaan-perbedaan kecil yang biasa terdapat pada diri kedua belah pasangan. Namun, meski mengakui adanya sebab-sebab dengan alasan tersebut. Ada akar permasalahan yang lebih mendasar dari munculnya konflik suami isteri yaitu soal niat, tujuan dan orientasi pernikahan yang belum beres.
ketentraman rumah tangga sudah menjadi satu paket dengan keberlangsungan pernikahan sejauh pernikahan itu dijalani atas dasar niat, tujuan dan orientasi pernikahan yang benar. Sehingga, manakala ketentraman hilang dari dalam rumah tangga kita, terlebih dahulu periksalah hal-hal yang menyangkut soal niat, tujuan dan orientasi pernikahan. Masihkah berada pada rel kebenaran?
Setelah sebab mendasar ini, penyebab utama konflik yang nampak paling dominan, adalah soal komunikasi. Baik yang tersumbat dalam melakukan komunikasi, tidak berani melakukan komunikasi maupun yang melakukan komunikasi tetapi merasa terpaksa. Sering terjadi, pasangan suami isteri tidak mampu mengungkapkan rasa tidak suka, cemburu, tidak setuju dan sejenisnya dengan cara yang tepat. Padahal, kita harus memiliki satu prinsip berkomunikasi yang meletakkan penghormatan, perhatian, respon dan kemesraan dalam hal mengungkap pesan atau sebaliknya menangkap pesan. Sederhananya ia berkata, Bila penghormatan dan perhatian hilang, bersiaplah menyambut hari-hari panjang penuh konflik dan penderitaan.
Terakhir, konflik juga bisa timbul karena adanya pola interaksi yang tidak baik, berati kita telah kehilangan satu pola komunikasi yang baik. Bila kualitas komunikasi dan pola interaksi suami isteri baik, maka masalah yang timbul dapat segera diatasi sehingga tidak menjadi konflik. Itu hanya menjadi suatu problem saja.
Perlu kemauan tinggi
Meski tidak dianjurkan memelihara konflik, pasangan suami isteri tak perlu takut terlibat konflik. Yang penting mereka siap mengatur konflik agar bisa teratasi dengan baik.
Konflik justru bisa bermakna positif dalam hidup seseorang, yaitu jika ia mampu meningkatkan kematangan hubungan suami isteri. Namun konflik bermakna positip ini adalah konflik yang kemunculannya adalah untuk dihadapi, diatur secara santun, dan bukannya dihindari atau malah diumbar dalam bentuk konflik terbuka.
Mengingat faktor utama yang mendorong timbulnya konflik adalah soal kegagalan berkomunikasi, maka berkomunikasi atau memperbaiki komunikasi juga menjadi solusi utama. Sayangnya beberapa orang mengaku tidak mampu lagi berkomunikasi dengan pasangannya. Dan ini adalah satu hal yang ditentang oleh psikolog Yati Utoyo Lubis.
Setiap orang pasti bisa berkomunikasi, tegas Yati. Memang ada orang yang belum apa-apa sudah bilang tidak bisa berkomunikasi, padahal menurut saya itu nonsens. Kenapa? “Karena komunikasi itu sesungguhnya bukan soal tidak bisa tetapi tidak mau” tambahnya.
Bisa juga terjadi, problem yang ada dipendam dan ditumpuk atau kemarahan dibiarkan berlarut-larut tanpa dikomunikasikan sehingga munculah ketakutan yang semakin besar untuk mengungkapkannya. Ketakutan ini lantas saja dianggap sebagai ketidakmampuan.
Mengatasi soal hambatan berkomunikasi ini, bagi pihak yang merasakan ada masalah untuk segera membuka diri tanpa menunggu pihak lain menjadi peka atau berharap pasangan sudah paham dengan sendirinya.
Anak-anak paling menderita
Bagi pasangan yang tidak berani menghadapi konflik, ingatlah bahwa dampak adanya konflik sangat luas dan menyakitkan, baik bagi kedua pasangan, keluarga besar dan terutama bagi anak-anak. Jadi suami, isteri dan anak-anak adalah pihak yang dirugikan dalam hal konflik yang tidak segera diatasi.
Suami atau isteri bisa merasa skeptis dan apatis terhadap tindakan, pemikiran ataupun perasaan pasangannya. Belum lagi jika selama ini yang muncul dalam komunikasi suami isteri adalah gaya menekan atau meremehkan, maka yang mungkin terjadi adalah munculnya rasa minder, inferior serta tidak percaya diri pada diri pasangan yang kerap diremehkan.
Bagi pasangan yang kerap diabaikan, dibentak atau mendapat tekanan dalam berkomunikasi, sangat mungkin muncul depresi yang sangat mempengaruhi kondisi kesehatan mentalnya. Bila pasangan sudah merasa tidak bahagia, dia dapat bersikap masa bodo, tak lagi berkeinginan memperbaiki hubungan atau bahkan, merasa putus asa.
Begitupun sebagai manusia dewasa, pasangan suami isteri masih punya kesempatan memilih sikap atau mengambil jalan keluar. Entah dengan mencari solusi, memohon bantuan, tidak ambil peduli atau bercerai. Sementara bagi anak-anak, konflik orangtua yang tidak terselesaikan hanya berujung pada satu kata “menderita“.
Bagi anak-anak ada tigal hal yang mungkin terjadi seiring berlarutnya konflik orangtua.
Pertama, minimal mereka kehilangan kesempatan bermain dengan orangtuanya yang tengah berkonflik.
Selanjutnya mereka akan mendapati kurangnya perhatian orangtua pada mereka karena disibukkan dengan konflik dan,
tingkat lanjutannya adalah manakala anak sampai mengalami child abuse (penyiksaan) baik yang berkonotasi fisik, sebagai pelampiasan kemarahan orangtua, atau penyiksaan psikis dan verbal.
Karena itu, sebelum konflik suami isteri memakan korban, segeralah mengambil tindakan. Kelola masalah dan atasi konflik dengan cepat dan tepat.
Diambil dari : tentang-pernikahan.com